komite 5 dan Sejarah Singkat Palang Merah

Siapa yang masih belum mengenal Palang Merah? Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah internasional merupakan salah satu organisasi kemanusiaan terbesar di dunia. Gerakan ini memiliki sekurang-kurangnya 97 juta relawan di seluruh penjuru dunia. Gerakan ini dibentuk untuk melindungi hidup dan kesehatan manusia, serta mencegah penderitaan manusia akibat adanya konflik bersenjata atapun bencana alam yang mengancam kehidupan dan martabat manusia.
Gagasan Dunant diterima oleh khalayak umum. Banyak orang tertarik dan memuji ide dan gagasan Dunant, salah satunya adalah Gustave Moynier, ketua dari Geneva Public Welfare Society (GPWS). Moynier pun mengajak Dunant untuk mengemukakan gagasannya pada pertemuan GPWS pada 9 Februaru 1863. Mayoritas anggota GPWS pun menyetujui gagasan Dunant. Pada saat itu juga dibentuklah Komite Lima Yang memperjuangkan ide Dunant dan terealisasi pada 17 Februari 1863 ketika International Committee of Aid to the Wounded terbentuk. Anggota Komite Lima tersebut antara lain:
  1. Gustave Moynier
  2. Theodore Maunoir
  3. Louis Appia
  4. Jendral Guillame-Hendri Dufour
  5. Jean-Henri Dunant
Pada bulan Oktober 1863, International Committee of Aid to the Wounded mengadakan konferensi, atas bantuan pemerintah Swiss, yang dihadiri oleh 16 negara. Konferensi tersebut menghasilkan 10 pasal. Dari pasal itulah, International Committee of Aid to the Wounded akhirnya berganti nama menjadi International Committee of Red Cross (ICRC). Selain itu, ditetapkannya pula lambang Palang Merah di atas dasar putih sebagai lambang Gerakan yang baru saja terbentuk ini. Pembentukan ICRC merupakan momen krusial. Tak lama setelah konferensi tersebut, perhimpunan nasional mulai berdiri di berbagai negara. Di mulai dari Eropa dan akhirnya ke seluruh dunia. Saat ini sudah berdiri lebih dari 192 perhimpunan nasional yang telah berdiri. Mereka berjuang demi kemanusiaan dan berusaha untuk mewujudkan cita-cita Dunant. Bahkan Gerakan Palang Merah tidak hanya membantu konflik bersenjata. Namun juga berbagai peristiwa mulai dari bencana alam ataupun teknologi. Palang Merah terdiri dari beberapa komponen. Komponen tersebut antara lain
  1. International Committee of Red Cross (ICRC)ICRC memiliki mandat, yaitu untuk
    1. Melindungi dan membantu korban konflik bersenjata
    2. Mempromosikan Hukum Perikemanusiaan Internasional
  2. International Federation of Red Cross and Red Cresscent Society (IFRC)                                      IFRC memiliki mandat yakni untuk membantu dan melindungi korban bencana alam dan teknologi
  3. Perhimpunan Nasional
Sejarah Singkat PMI Upaya pendirian organisasi Palang Merah Indonesia sudah dimulai semenjak sebelum Perang Dunia ke II oleh Dr. RCL Senduk dan Dr. Bahder Djohan, dimana sebelumnya telah ada organisasi palang merah di Indonesia yang bernama Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (NERKAI) yang didirikan oleh Belanda. Tetapi upaya upaya ini masih ditentang oleh pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Pada tahun 1945, setelah Indonesia merdeka, atas instruksi Presiden Soekarno maka dibentuklah badan Palang Merah Indonesia oleh Panitia 5 (lima), yaitu : Ketua : Dr. R. Mochtar Penulis : Dr. Bahder Djohan Anggota : Dr. Djoehana Dr. Marzuki Dr. Sitanala Sehingga pada tanggal 17 September 1945 tersusun Pengurus Besar PMI yang pertama yang dilantik oleh Wakil Presiden RI Moch. Hatta yang sekaligus beliau sebagai Ketuanya.
Lambang Sebelum adanya Gerakan, setiap medis yang dimiliki oleh militer suatu negara memiliki lambang yang berbeda. Hal ini menyebabkan kebingungan oleh tentara musuh. Oleh karena itu, relawan medis lebih sering untuk menjadi sasaran bagi tentara musuh karena dianggap sebagai bagian dari tentara. Delegasi dari Konferensi 1863 tidak memiliki sedikitpun niatan untuk menampilkan sebuah simbol kepentingan tertentu, dengan mengadopsi Palang Merah di atas dasar putih. Namun pada tahun 1876 saat Balkan dilanda perang, sejumlah pekerja kemanusiaan yang tertangkap oleh Kerajaan Ottoman (saat ini Turki) dibunuh semata-mata karena mereka memakai ban lengan dengan gambar Palang Merah. Ketika Kerajaan diminta penjelasan mengenai hal ini, mereka menekankan mengenai kepekaan tentara kerajaan terhadap Lambang berbentuk palang dan mengajukan agar Perhimpunan Nasional dan pelayanan medis militer mereka diperbolehkan untuk menggunakan Lambang yang berbeda yaitu Bulan Sabit Merah. Gagasan ini perlahan-lahan mulai diterima dan memperoleh semacam pengesahan dalam bentuk “reservasi” dan pada Konferensi Internasional tahun 1929 secara resmi diadopsi sebagai Lambang yang diakui dalam Konvensi, bersamaan dengan Lambang Singa dan Matahari Merah di atas dasar putih yang saat itu dipilih oleh Persia (saat ini Iran). Tahun 1980, Republik Iran memutuskan untuk tidak lagi menggunakan Lambang tersebut dan memilih memakai Lambang Bulan Sabit Merah. Fungsi Lambang Telah ditentukan bahwa Lambang memiliki fungsi untuk :
  1. Tanda Pengenal yang berlaku di waktu damai
  2. Tanda Perlindungan yang berlaku diwaktu damai dan perang/konflik
Setiap negara peserta Konvensi Jenewa memiliki kewajiban membuat peraturan atau undangundang untuk mencegah dan mengurangi penyalahgunaan Lambang. Negara secara khusus harus mengesahkan suatu peraturan untuk melindungi Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Dengan demikian, pemakaian Lambang yang tidak diperbolehkan oleh Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan merupakan pelanggaran hukum. Bentuk-bentuk penyalahgunaan Lambang yaitu:
  1. Peniruan (Imitation):Penggunaan tanda-tanda yang dapat disalahmengerti sebagai lambang Palang Merah atau bulan sabit merah (misalnya warna dan bentuk yang mirip). Biasanya digunakan untuk tujuan komersial. Gerakan dan HPI / Modul I10
  2. Penggunaan yang Tidak Tepat (Usurpation): Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah oleh kelompok atau perseorangan (perusahaan komersial, organisasi non-pemerintah, perseorangan, dokter swasta, apoteker dsb) atau penggunaan lambang oleh orang yang berhak namun digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan (misalnya seseorang yang berhak menggunakan lambang namun menggunakannya untuk dapat melewati batas negara dengan lebih mudah pada saat tidak sedang tugas).
  3. Penggunaan yang Melanggar Ketentuan/Pelanggaran Berat (Perfidy/Grave misuse): Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah dalam masa perang untuk melindungi kombatan bersenjata atau perlengkapan militer (misalnya ambulans atau helikopter ditandai dengan lambang untuk mengangkut kombatan yang bersenjata; tempat penimbunan amunisi dilindungi dengan bendera Palang Merah) dianggap sebagai kejahatan perang.
Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional
  1. Hukum Perikemanusiaan Internasional
Hukum Perikemanusiaan Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum Internasional Publik dan terdiri dari peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara berperang di masa sengketa bersenjata. Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional; hukum tersebut membatasi atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk memilih caracara dan alat peperangan, serta memberikan perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena dampak pertikaian bersenjata. Kombatan hanya boleh menyerang target militer, wajib menghormati non-kombatan dan objek sipil dan menghindari penggunaan kekerasan yang berlebihan. Istilah hukum perikemanusiaan internasional, hukum humaniter, hukum sengketa bersenjata dan hukum perang dapat dikatakan sama pengertiannya. Organisasi internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional (atau hukum humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum perang biasa digunakan oleh angkatan bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional. Keempat Konvensi Jenewa menegaskan penghormatan yang harus diberikan kepada setiap pribadi pada masa sengketa bersenjata. Keempat Konvensi tersebut adalah: I. Perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat II. Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang luka, sakit dan korban karam III. Perlakuan tawanan perang IV. Perlindungan penduduk sipil di waktu perang 2. Code of Conduct Code of conduct atau kode perilaku adalah Etika dan Aturan Main Antara Badan Kemanusiaan Internasional dalam Kegiatan Bantuan Kemanusiaan. Merupakan rumusan dari hasil Kesepakatan antara 7(tujuh) Badan Kemanusiaan Internasional yaitu : ICRC, IFRC, Caritas International, International Save the Children, Lutheran World Federation, Oxfam dan World Council of Churches. Kesepakatan tersebut berupa ketentuan dasar yang mengatur standardisasi Perilaku Badan Kemanusiaan Internasional serta Pekerja Kemanusiaan untuk menjamin Independensi dan Efektifitas dalam penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan Agar penerapan menyeluruh dapat diterapkan, maka Code of Conduct ini diadopsi oleh Federasi melalui General Assembly and The Council of Delegates (Birmingham, 1993) dan International Conference (Geneva, 1995); Code of conduct terdiri dari 10 (sepuluh) Prinsip Dasar berkenaan dengan Humanitarian Relief Operation serta 3 (tiga) Annex yang mengatur hubungan antara Badan/Organisasi Kemanusiaan dengan Pemerintah Setempat, Negara Donor dan Organisasi Antar Negara khususnya pada saat bencana. Karena prinsipnya yang mengikat dan harus diterapkan secara nyata oleh personel lembaga yang bersangkutan, maka bagi Federasi, tugas seorang anggota Delegasi Federasi jika ditempatkan di suatu negara, maka ia harus mensosialisasikan Code of Conduct ini kepada Perhimpunan Nasional dimana ia ditugaskan. Adapun kesepuluh kode perilaku tersebut adalah :
  1. Kewajiban kemanusiaan adalah prioritas utama.
  2. Pengakuan atas Hak Korban Bencana/Konflik yaitu Hak Untuk Memperoleh Bantuan Kemanusiaan dimanapun ia berada
  3. Komitment untuk menyediakan Bantuan Kemanusiaan kepada korban bencana/konflik, diamanapun atau kapanpun ia diperlukan
  4. Akses terhadap lokasi bencana/konflik dan terhadap korban tidak dihalang-halangi
  5. Dalam memberikan bantuan kemanusiaan tidak menjadi bagian dari suatu kegiatan politik atau partisan
  6. Bantuan diberikan tanpa pertimbangan ras, kepercayaan ataupun kebangsaan dari penerima bantuan atau pun perbedaan dalam bentuk apa pun.
  7. Bantuan kemanusiaan diperhitungkan berdasarkan kebutuhan semata
  8. Proportional
  9. Mengakui peranan penting Kaum Wanita dan menjamin bahwa peranan tersebut harus didukung dan didayagunakan
  10. Terjaminnya akses terhadap sumber-sumber daya yang diperlukan serta akses yang seimbang terhadap korban bencana/konflik
  11. Bantuan tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik dan agama.
  12. Tidak mengikuti suatu pendirian politik atau keagamaan tertentu
  13. Bantuan diberikan kepada Individu, Keluarga dan Kelompok Masyarakat yang memerlukan bantuan tidak tergantung/memandang pada predikat apa yang melekat pada penerima bantuan
  14. Tidak menjadi alat kebijakan pemerintah luar negeri.
  15. Badan Kemanusiaan Internasional harus dapat menjamin Independensinya terhadap Negara Donor yang mempercayakan penyaluran bantuannya;
  16. Badan Kemanusiaan Internasional harus dapat mengupayakan lebih dari satu sumber bantuan
  17. Menghormati kebiasaan dan adat istiadat.
  18. Tidak bertentangan dengan adat istiadat setempat
  19. Membangun respon bencana sesuai kemampuan setempat.
  20. Memanfaatkan keberadaan LSM serta tenaga lokal yang tersedia dalam implementasi kegiatan
  21. Pengadaan komoditas bantuan serta Jasa dari sumber-sumber setempat;
  22. Mengutamakan koordinasi
  23. Melibatkan penerima bantuan dalam proses manajemen bencana.
Mengupayakan partisipasi masyarakat hingga pemanfaatan sumber-sumber daya masyarakat yang tersedia;
  1. Bantuan yang diberikan hendaknya untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana di kemudian hari.
  2. Bantuan kemanusiaan diberikan, tidak semata-mata memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga diupayakan agar dapat mengurangi tingkat kerentanan masyarakat (korban bencana/konflik) di masa depan
  3. Memperhatikan kepentingan lingkungan dalam merekayasa dan implementasi programprogram
  4. Menghindari sikap ketergantungan yang berkepanjangan terhadap bantuan-bantuan eksternal
  5. Bertanggung-jawab kepada pihak yang kita bantu dan yang memberi kita bantuan.
  6. Bantuan kemanusiaan harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada mereka yang berhak menerimanya dan kepada pihak Donor
  7. Bantuan kemanusiaan harus dikelola secara terbuka/transparansi, baik dari perspective Finansial maupun Efektifitas kegiatan
  8. Mengakui kewajiban Pelaporan dan memastikan upaya monitoring telah dilakukan
  9. sebagaimana mestinya
  10. Dalam kegiatan informasi, publikasi dan promosi, harus memandang korban sebagai manusia yang bermartabat.
  11. Mengakui martabat daripada korban bencana/konflik
  12. Dalam publikasi, tidak hanya menonjolkan tingkat penderitaan korban bencana, tetapi juga perlu menonjolkan upaya/kapasitas masyarakat dalam mengatasi penderitaan mereka
  13. Kerjasama dengan Media dalam rangka meningkatkan perhatian dan kontribusi masyarakat tidak didasarkan pada adanya tekanan, vested interest atau publisitas baik dari lingkungan internal maupun eksternal
  14. Dalam media coverage diupayakan tidak menimbulkan kesan persaingan dengan Badan Kemanusiaan lainnya
  15. Tidak merusak situasi/atmosphere ditempat dimana Badan Kemanusiaan itu bekerja, demikian pula keamanan dari para Pekerjanya
3. Safer Access Pada saat konflik terjadi, kerawanan menjadi korban bagi mereka yang memberi bantuan adalah sebuah hal yang sulit dihindarkan. Setiap saat pemberi bantuan dapat turut menjadi korban pertikaian. Misalnya, disandera atau ditawan, terkena peluru, senjata tajam hingga mortir secara tidak disengaja dan terbunuh. Terkenanya pemberi bantuan menjadi korban, tentu akan berpengaruh bagi kelancaran sampainya bantuan bagi yang membutuhkan. Untuk itu, pada saat konflik atau perang terjadi, pemberi bantuan harus memperhatikan betul bagaimana ia bisa selamat dan terhindar dari akibat yang membuatnya dapat turut menjadi korban. Bagaimana memperoleh keamanan dan bagaimana tindakan aman yang harus dilakukan oleh pemberi bantuan di situasi konflik inilah yang disebut dengan safer access. Intinya dapat disimpulkan bahwa safer access adalah Kerangka kerja yang disusun agar pemberi bantuan dapat memiliki AKSES YANG LEBIH BAIK terhadap populasi yang terkena dampak konflik dan dapat BEKERJA LEBIH AMAN dalam situasi konflik. Kerangka kerja tersebut terdiri dari pedoman bagi organisasi dan individu agar lebih aman bekerja dalam situasi konflik. Ada tiga hal yang menjadi kerangka kerja tersebut yaitu :
  1. Keamanan pemberi bantuan (mis, PMI) dalam konflik
Secara umum, langkah-langkah keamanan disusun untuk: mencegah insiden, mengurangi resiko dan membatasi kerusakan. Artinya, kalaupun insiden tidak dapat dihindarkan (misalnya dtangkap oleh salah satu kelompok yang bertikai), paling tidak, kita harus berupaya agar dalam insiden tersebut dapat berlaku tepat agar resiko lebih jauh dapat terhindar. Termasuk tentunya, membatasi kerusakan lebih jauh terhadap kendaran atau bangunan (terutama yang digunakan dalam operasi kemanusiaan) yang ada. Kunci dari bagaimana dapat berlaku tepat, tentu sebelumnya harus mengerti dan memahami bagaimana situasi konflik yang terjadi. Pemberi bantuan harus mengetahui peta konflik dan peta situasi atau lokasi yang ada. Misalnya, mengetahui siapa yang berkonflik, dimana lokasilokasi yang menjadi basis pertahanan dan daerah konflik terbuka terjadi, dimana lokasi pengungsi, mengetahui jalur atau akses jalur wilayah yang aman dan sebagainya.
  1. Dasar Hukum dan Kebijakan Gerakan
Andaikan yang memberi bantuan pada saat konflik adalah PMI, maka anggota PMI selain harus mengetahui tipe-tipe konflik maka harus mengetahui juga, apa dasar hukum yang dipakai oleh PMI untuk bertindak dalam situasi konflik. Selain itu, pemahaman akan hak, kewajiban dan keterbatasan PMI di saat konflik dan aturan lain yang terkait dengan posisi sebagai anggota PMI dalam situasi konflik juga menjadi sebuah hal yang harus diketahui. Selain itu, tentunya relevansi penerapan dasar hukum internasional dan internasional bagi pemberian bantuan merupakan pengetahuan dasar yang melekat. Dasar Hukum Internasional meliputi :
  1. Konvensi Jenewa (1949)
  2. Melindungi anggota angkatan bersenjata yang luka dan yang sakit dalam pertempuran di darat
  3. Melindungi anggota angkatan bersenjata yang luka, sakit dan mengalami kapal karam dalam pertempuran di laut
III. Melindungi para tawanan perang
  1. Melindungi penduduk sipil
  2. Protokol Tambahan (1977)                     Protokol I :
Memperkuat perlindungan kepada para korban konflik bersenjata internasional Protokol II: Memperkuat perlindungan kepada para korban konflik bersenjata non-internasional Protokol III (2005) Pengesahan dan pengakuan Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam Gerakan
  1. Dasar Hukum Nasional meliputi :
  2. UU No 59 tahun 1958 keikutsertaan negara RI dalam Konvensi-Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949
  3. Keppres RI no 25 tahun 1950 pengesahan dan pengakuan Perhimpunan Nasional Palang Merah Indonesia
III. Keppres RI no 246 tahun 1963 tugas pokok dan kegiatan PMI
  1. AD/ART Palang Merah Indonesia
  2. Garis-Garis Kebijakan Palang Merah Indonesia
  3. Protap Tanggap Darurat Bencana PMI
  4. Tujuh Pilar
Adalah “Pedoman/ acuan yang efektif untuk menciptakan kesadaran personal pemberi bantuan pada semua tingkat tentang berbagai hal penting yang harus dipertimbangkan pada saat akan memberikan perlindungan maupun bantuan bagi para korban konflik”. Ketujuh pilar itu meliputi :
  1.  Penerimaan terhadap Organisasi
Organisasi bantuan kita harus 'diterima' oleh lingkungan dimana operasi kemanusiaan dilakukan. 2. Penerimaan terhadap Individu dan Tingkah Laku Pribadi Tingkah laku pribadi dapat berpengaruh kepada penerimaan terhadap individu dan berpengaruh pula pada penerimaan terhadap organisasi. 3. Identifikasi Tanda pengenal bahwa kita menjadi anggota organisasi harus selalu melekat. 4. Komunikasi Internal Informasi internal hendaknya mengalir cepat, tepat dan akurat. Cepatnya informasi dapat mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan. Untuk itu penting adanya membuat perencanaan. 5. Komunikasi Eksternal Komunikasi atau informasi dengan pihak luar Gerakan secara terbuka tanpa batas dapat membahayakan keamanan kita, sebab dapat disalahgunakan untuk propaganda atau dapat menimbulkan citra bahwa Gerakan adalah organisasi yang memihak. Untuk itu, individu pemberi bantuan tidak boleh memberitahukan atau menyampaikan apapun selain hanya 'apa yang dilakukan' dan bukan 'apa yang dirasakan, dilihat, didengar' dan sebagainya. 6. Peraturan Keamanan Peraturan harus ditandatangani oleh setiap anggota, Mempunyai suatu sistim untuk memastikan terlaksananya peraturan tersebut dan Peraturan itu haruslah selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan situasi. 7. Tindakan Perlindungan Memilih tindakan perlindungan aktif atau pasif atau kombinasi keduanya dan adanya jaminan asuransi.  

0 Komentar